Selasa, 26 Juni 2012

Pesan Kemanusiaan Haji dan Kurban


Pesan Kemanusiaan Haji dan Kurban
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Maasyiral Muslimin Rahimakumullah
Pagi ini umat Islam di Tanah Air dan kita semua yang berkumpul di masjid/halaman masjid ini bersama-sama melakukan perayaan keagamaan (shalat Idul Adha dan setelahnya kita lanjutkan dengan menyembelih hewan Kurban). Kita kumandangkan takbirtahmid dan tasbih untuk mengagungkan, memuji dan mensucikan Allah,  dzat yang  kita cintai melebihi segala-galanya.
Dalam kesempatan Idul Adha atau Idul Qurban ini, khatib ingin mengajak kepada  para jamaah untuk bersama-sama memahami kembali  makna haji dan qurban.
Salah satu pesan pokok ibadah haji yang disimbolkan melalui ritual thawaf,  yaitu agar kita tidak memandang rendah terhadap orang lain yang mungkin status dan kedudukannya di bawah kita. Sebab di hadapan Allah terkadang orang yang dipandang  rendah oleh sesama manusia justru dimuliakan dan ditinggikan derajatnya, seperti Hajar isteri Ibrahim.
Maasyiral Muslimin Rahimakumullah
Allahu Akbar2 Walillahilhamd
Di dalam al-Qur’an surat Ali Imran, 3/96, Allah SWT berfirman,
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ
Artinya:  Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. (Qs. Ali Imran, 3/96)
Ayat ini menjelaskan bahwa Rumah Ibadah yang pertama kali dibangun ialah Baitullah (Ka’bah) yang ada di Mekkah. Ayat ini sekaligus sebagai bantahan terhadap  Ahli Kitab yang  mengatakan bahwa rumah ibadah yang pertama dibangun berada di Baitulmakdis.
Konon sewaktu Nabi Adam diusir dari surga dengan segala kesedihannya, ada satu yang paling disedihkan,  bahwa ia tidak lagi secara spiritual bisa mengikuti ibadahnya para Malaikat. Yaitu, berkeliling mengitari Singgasana Allah (‘Arasy). Kemudian menurut cerita itu, Adam dihibur oleh Allah dengan dibolehkannya membuat Ka’bah sebagai tiruan ‘Arasy (Singgasana Allah) dan di tempat  itulah Nabi Adam melakukan ritual mengelilingi Ka’bah, yang dinamakan thawaf.
Sebagai bangunan tua, al-Qur’an juga menyebut dengan al-Bayt al-Atiq (rumah suci yang tua). Jadi Ka’bah adalah bangunan kuno (bahasa Inggris Antique) yang memiliki nilai sejarah tinggi karena merupakan Rumah Ibadah yang mula-mula dibangun. Karena Ka’bah dibangun dengan material seadanya sehingga tidak tahan lama, maka ketika ada banjir Ka’bah runtuh dan pondasi bangunan rumah ibadah ini tertutup pasir, Nabi Ibrahim dan Ismail AS kemudian membangun kembali, seperti difirmankan  Allah, (Qs. Al-Baqarah, ayat 127)
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Artinya: Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Maasyiral Muslimin
Sidang Idul Adha Rahimakumullah
Allahu Akbar2 Walillahilhamd
Di tepi Ka’bah terdapat bangunan yang kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Baitullah itu ialah Hijir-Ismail,  sehingga bangunan ka’bah seolah melebar dan mengarah ke Hijr-Ismail. Tentang Hijr-Ismail ini, sebagian mengartikan dengan batu Ismail, karena pada batu ini dulu Ismail membantu ayahnya meninggikan bangunan Ka’bah. Karena di sekitar Ka’bah juga terdapat maqam Ibrahim, yaitu sebongkah batu yang di atasnya ada bekas telapak kaki Ibrahim. Di atas batu itulah Ibrahim berdiri dan meletakkan batu pertama Ka’bah (Hajar Aswad) dan seterusnya ia berdiri di atas batu itu untuk meneruskan pembangunan Ka’bah. Karena itu bisa dipahami juga kalau Hijr Ismail adalah batu Ismail.
Riwayat lain mengatakan bahwa Hijr-Ismail yang dimaksud adalah Hajar-Ismail (Ibu dan Anak), yaitu Hajar isteri nabi Ibrahim dan ibu yang melahirkan Ismail. Karena perjuangan, kesabaran dan kepasrahannya dalam mengasuh dan membesarkan Ismail di perbukitan yang tandus. Konon Hajar sempat protes kepada Ibrahim karena ditinggalkan hanya bersama putranya di perbukitan yang tandus itu. Setelah dijawab oleh Ibrahim bahwa ini perintah Allah, maka Hajar menerimah dengan kepasrahan. Karena semua inilah  maka Allah memberikan kemuliaan kepada Hajar dan Ismail untuk membangun rumah di sebelah rumah Allah,   sehingga bangunan ka’bah seolah melebar dan mengarah ke Hajar-Ismail. Bahkan Allah memberikan kemuliaan kepada Hajar dengan diberikan tempat di samping-Nya dan sebuah ruangan di dalam rumah Allah, menjadi tetangga-Nya dan bahkan satu atap rumah dengan-Nya.
Maasyiral Muslimin
Sidang Idul Adha Rahimakumullah
Allahu Akbar2 Walillahilhamd
Ada lorong sempit di antara Hajar-Ismail dan Ka’bah. Ketika thawaf mengelilingi Ka’bah, Allah mengharuskan kita mengitari Hajar-Ismail, dan tidak boleh melewati lorongnya, sebab kalau tidak maka ibadah haji kita menjadi batal atau tidak diterima.
Rumah seorang hamba sahaya, perempuan berasal dari Ethiopia,  berkulit hitam, lemah dan paling hina, tapi seorang Ibu yang penuh pengabdian dan kepasrahan kepada Allah telah menjadi bagian dari Ka’bah, dan akan dikelilingi setiap orang yang thawaf seterusnya dan selamanya. Ini adalah penghargaan sekaligus pelajaran yang sangat berharga bagi para ibu dan kita semua,  agar  tidak memandang rendah orang yang mungkin statusnya di bawah kita.
Inilah kira-kita di antara makna ibadah thawaf yang dilakukan jamaah haji. Yaitu, agar mengingat Hajar-Ismail dan seterusnya bersikap dan bertindak sebagaimana Allah memberikan penghargaan dan penghormatan kepada Hajar-Islmail. Kita tidak boleh memandang remeh apalagi melecehkan orang lain, boleh jadi dihadapan Allah mereka adalah orang-orang terhormat.
Maasyiral Muslimin Sidang Jumat
Rahimakumullah
Prosesi haji yang lain, yaitu wukuf di Arafah. Wukuf di Arafah adalah salah satu ritual haji yang tidak boleh ditinggalkan. Wukuf di Arafah juga mengandung pesan kemanusiaan yang  luar biasa mendalam. Nabi Menegaskan al-Hajju ‘Arafah, artinya orang yang pergi haji harus berkumpul di Arafah adalah dimaksukan untuk meresapi nilai-nilai kemanusiaan universal.  Karena di Arafah itulah didemonstrasikan berkumpulnya segala macam bangsa, dari yang warna kulit putih, kuning sampai yang hitam.  Konon Nabi ketika menyampaikan pidota pada haji wada’, yang kemudian dinamakan dengan Khutbat ul-Wada dilakukan dengan penuh perasaan, yakni agar pidatonya itu benar-benar didengar dan dilaksanakan oleh para shahabat dan umatnya. Sampai-sampai Nabi berpesan hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. Dan, sekembali dari Arafah sebelum sampai di Mekkah Nabi kembali mengulang pidatonya di satu tempat yang bernama Ghadir Khum (pesimpangan jalan Khum).
Di antara pesan Nabi dalam Khutbat ul-Wada, atau pidato perpisahan itu, karena 3 bulan setelah itu Nabi Wafat, yaitu;
أيها الناس ! الله، الله، في دينكم وأمانتكم ! الله، الله، فيما ملكت أيمانكم!
Wahai manusia! Ingatlah Allah! Ingatlah Allah berkenaan dengan agamamu dan amanat-amanatmu. Ingatlah Allah berkenaan dengan orang-orang yang kamu kuasai dengan tanganmu
Maksud orang yang kamu kuasai dengan tanganmu dalam pidato Nabi tersebut adalah buruh yang yang bekerja pada kita, yang dulu disebut budak. Mengenai perlakuan pada buruh ini, Nabi selanjutnya berpesan kepada kita,
فأطعموهم مما تأكلون، وأكسوهم مما تلبسون، ولا تكلفوهم ما لا يطيقونفإنهم لحم ودم وخلق أمثالكم
Kamu harus memberi makan kepada mereka seperti yang kamu makan. Kamu harus memberi pakaian kepada mereka seperti yang kamu pakai. Dan kamu tidak boleh membebani mereka dengan sesuatu yang mereka tidak sanggup mengerjakan. Mengapa? Sebab mereka itu adalah daging, darah dan makhluk seperti kamu.
Lalu beliau juga mengatakan dengan nada ancaman,
ألا من ظلمهم فأنا خصمه يوم القيامة، والله حاكمهم
Ingatlah, barangsiapa berbuat zalim terhadap buruhnya (kepada pembantunya) maka akulah musuh mereka di Hari Kiamat dan Allah menjadi hakimnya.
Pesan-pesan Nabi yang disampaikan dalam khutbah wada’ ini agaknya relevan untuk kita angkat kembali, bersamaan dengan maraknya perlakuan majikan terhadap para buruhnya atau majikan terhadap para pembantunya yang melampaui bahkan melanggar hak azasi manusia. Karena itu wukuf di Arafah sesungguhnya tidak saja mengandung makna ritual semata  sebagai rukun haji yang harus dipenuhi. Tapi lebih dari itu mengandung pesan mendalam tentang pentingnya mengembangkan faham kesamaan derajat (egalitarianisme) di antara sesama manusia dan perhatian yang sungguh terhadap urusan agama (terutama shalat),  terhadap para buruh dan/atau para pembantu serta orang-orang yang di bawah tanggung jawab      kita.
Maasyiral Muslimin
Sidang Idul Adha Rahimakumullah
Allahu Akbar2 Walillahilhamd
Perayaan Idul Adha atau Idul Qurban  juga dimaksudkan untuk mengenang dan meneladani pengurbanan Ibrahim dan kesabaran Ismail as menghadapi ujian terbesar kenabian, dan  mereka berhasil melampaui ujian ini sehingga menjadi orang-orang yang benar-benar berserah diri kepada  Allah SWT.
Al-Qur’an surat as-Shafat, ayat 100-107, dengan ungkapan dan kalimat yang jelas  menceritakan peristiwa dramatik penyembelihan anak oleh bapaknya,  penyembelihan Nabi Ismail oleh Nabi Ibrahim AS.
Surat as-Shafat, ayat 100 dan 101, Allah SWT berfirman,
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ  فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيم
Artinya: “Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh (100) Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat penyantun (Ismail as)”(101).
Maasyiral Muslimin Rahimakumullah
Beberapa riwayat menjelaskan, bahwa ketika Ibrahim sudah berada di puncak tugas kenabiannya, ia merasa sudah semakin tua, semakin kesepian dan sangat ingin  mempunyai keturunan. Usia Ibrahim sudah lebih dari seratus tahun, sementara isterinya tidak dapat memberikan keturunan atau mandul. Karena itu meskipun Ibrahim sangat ingin mempunyai anak, tapi ia tidak terlalu berharap.
Tapi atas kemurahan-Nya, Allah SWT akhirnya memberikan khabar gembira kepada Ibrahim sebagai ganjaran atas kerja kerasnya, waktu dan penderitaan dalam perjuangan selama menyampaikan ajaran Islam. Allah mengaruniai seorang anak (Ismail) dari seorang hamba sahaya (budak) perempuan yang dimiliki Sarah, bernama Hajar. Seorang yang sangat miskin, sangat sederhana dan tidak cukup terhormat, atau tidak memiliki daya tarik  yang dapat menimbulkan kecemburuan dalam hati Sarah, istri  Ibrahim. Karena itu Sarah tidak keberatan kalau Hajar diperistri oleh Ibrahim, yang kemudian memberikan keturunan, yaitu Ismail AS.
Ismail tidak hanya sekedar seorang anak untuk bapaknya, tapi buah hati yang sudah didambahkan sepanjang hidup, dan imbalan bagi kehidupan yang penuh perjuangan. Sebagai anak tunggal Ismail, adalah anak yang sangat dicintai oleh seorang bapak  yang sudah tua yang sudah bertahun-tahun menanggung penderitaan. Karena saking cintanya,  Ibrahim sampai-sampai menganggap Ismail sebagai saudara kandung yang hidup dengan dirinya sebagai seorang petani tua yang hidup di gurun pasir yang tandus.
Karena itu Ismail bagi Ibrahim tidak seperti anak pada umumnya; karena bapaknya telah merindukan kehadirannya selama seratus tahun; karena kelahirannya tidak diduga-duga oleh bapaknya. Ismail tumbuh bagaikan sebatang pohon yang kuat, mendatangkan kegairahan dan kebahagiaan dalam kehidupan Ibrahim. Ismail adalah cinta sekaligus harapan dan masa depan Ibrahim sekaligus keluarganya.
Maasyiral Muslimin Rahimakumullah
Allahu Akbar2 Walillahilhamd
Di tengah kebahagiaan seperti itu turunlah wahyu, “Wahai Ibrahim! Taruhlah sebilah pisau di leher anakmu dan sembelihlah dia dengan tanganmu sendiri”.  Seperti difirmankan dalam surat as-Shafat ayat 102,
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ
فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinya:  “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau  akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (102)
Dapatkah kita membayangkan betapa terguncangnya Ibrahim, dengan turunnya perintah itu; ia merasakan penderitaan, sakit dan pedih yang luar biasa kalau sampai harus mengurbankan anaknya sendiri, anak satu-satunya. Ibrahim goyah dan hampir-hampir roboh tidak sanggup menghadapi tugas kenabian yang teramat berat ini.
Ibrahim yang sepanjang sejarah perjuangannya dikenal sebagai hamba Allah yang paling setia, pahlawan yang tangguh dalam mengahadapi segala rintangan dan selalu berhasil dalam melaksanakan tanggung jawabnya, sekarang dihadapkan dengan perang melawan dirinya sendiri. Ibrahim dihadapkan pada   konflik batin untuk memilih antara Allah atau dirinya?  Menjadi seorang Nabi atau Bapak? Hidup hanya untuk hidup atau hidup demi tujuan?  Memilih Allah atau Ismailnya?  Ibrahim dihadapkan pada pilihan yang benar-benar teramat sulit.
Maasyiral Muslimin Rahimakumullah
Ibrahim akhirnya mengambil keputusan tepat, dengan bulat hati menyembelih putranya atas perintah Allah SWT,  sebagaimana difirmankan dalam surat as-Shafat ayat 103-107
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ/ وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ /قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ /إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاء الْمُبِينُ    /وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
Artinya: Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). (103)Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim (104) Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu”, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (105)Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (106) Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar (107).
Konflik batin yang dialami Ibrahim, menggambarkan kelemahan mendasar Ibrahim adalah perasaan cintaannya kepada Ismail yang berlebihan. Inilah yang menyebabkan kebimbangan antara   kecintaannya kepada Ismail atau mengurbankannya untuk meraih cinta Tuhan. Perasaan cinta terhadap dunia secara berlebihan inilah yang juga merupakan titik lemah iman kita. Yang menyebabkan kita serakah terhadap dunia dan enggan berkurban.
Maasyiral Muslimin Rahimakumullah
Allahu Akbar2 Walillahilhamd
Lalu! Siapa atau apa yang menjadi Ismail kita sekarang? Jabatan, kehormatan, atau profesi kita? Tabungan kita, rumah, kendaraan, keluarga kita, pakaian kita atau bahkan diri kita sendiri? Yang harus kita kurbankan adalah segala sesuatu yang melemahkan iman kita dan meghalangi kita untuk mendengarkan, mengamalkan dan berpihak kepada Allah. Perayaan Idul Qurban adalah mementum penyadaran atas ego dan kecintaan kita terhadap dunia. Kita kembalikan semuanya  kepada Allah, sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan kepada-Nya  kita semua kembali.
Terimakasih atas segala perhatiannya dan mohon maaf atas segala kekuarangan dan kekhilafannya.

Akhirul kalam wabillahit taufiq walhidayat wassalamu ‘alaikum warohmatullohi wabarokaatuhu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar