Selasa, 26 Juni 2012

PENGELOLAAN APBN DALAM SISTEM MANAJEMEN KEUANGAN NEGARA



Makalah sebagai bahan penyusunan Budget in Brief 2004 (Ditjen Anggaran, Depkeu)
PENGELOLAAN APBN DALAM
SISTEM MANAJEMEN KEUANGAN NEGARA
Oleh:
Suminto, M.Sc.
Economist, The Indonesia Economic Intelligence
I. Pengantar
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan alat utama
pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya dan sekaligus alat pemerintah
untuk mengelola perekonomian negara. Sebagai alat pemerintah, APBN bukan
hanya menyangkut keputusan ekonomi, namun juga menyangkut keputusan
politik. Dalam konteks ini, DPR dengan hak legislasi, penganggaran, dan
pengawasan yang dimilikinya perlu lebih berperan dalam mengawal APBN
sehingga APBN benar-benar dapat secara efektif menjadi instrumen untuk
mensejahterakan rakyat dan mengelola perekonomian negara dengan baik.
Dalam rangka mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara, sejak beberapa tahun yang lalu telah diintrodusir
Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintah. Reformasi tersebut mendapatkan
landasan hukum yang kuat dengan telah disahkannya UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Tulisan ini menguraikan sistem dan proses pengelolaan APBN dalam
kerangka manajemen keuangan negara. Selain diuraikan pokok-pokok
manajemen keuangan negara serta proses APBN, diuraikan pula peranan DPR
dalam pengelolaan anggaran negara melalui fungsi-fungsi yang dimilikinya, yakni
fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
2
II. Landasan Pengelolaan Keuangan Negara
Landasan pengelolaan keuangan negara adalah Pasal 23C Undang
Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga: “hal-hal lain mengenai keuangan negara
ditetapkan melalui undang-undang”. Berangkat dari landasan konstitual itulah
berbagai upaya dilakukan untuk dapat menghadirkan Undang-undang Keuangan
Negara. Tercatat 14 (empat belas) tim telah dibentuk dengan tugas untuk
menyusun RUU bidang Keuangan Negara atau RUU tentang Perbendaharaan
Negara. Ke-14 tim itu adalah:
NO TIM HASIL TAHUN
1 Panitia Achmad
Natanegara
Konsep RUU Keuangan Republik
Indonesia “UKRI”
1945-1947
2 Panitia Hermans Menyusun RUU Pokok tentang
Pengurusan Keuangan Negara disingkat
“UUPKN” (dalam bahasa Belanda)
1950-1957
3 Panitia Ahli Departemen
Keuangan
Tidak menghasilkan konsep RUU 1959 –1962
4 Panitia Ahli Departemen
Keuangan dan Politisi
Tidak menghasilkan konsep RUU 1963 – 1965
5 Panitia Soedarmin Menyusun Konsep RUU tentang
pengurusan Keuangan Negara
1969 – 1974
6 Panitia Gandhi Menyusun konsep RUU semula berjudul
“Undang-undang tentang Cara
Pengurusan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Negara” berubah menjadi
“Undang-undang tentang Pengurusan
dan Pertanggungjawaban Keuangan
Negara”, berubah menjadi “Undangundang
tentang Keuangan Negara” ,
berubah menjadi “Undang-undang
tentang Pengurusan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Negara”,
dan akhirnya berubah menjadi “Undangundang
tentang Perbendaharaan Negara”
1975 – 1983
7 Panitia Prof. Dr. Rochmat
Soemitro
Panitia ini dibentuk oleh Departemen
Kehakiman dan menyusun konsep RUU
semula berjudul “Undang-undang tentang
Perbendaharaan Negara” kemudian
menjadi “Undang-undang tentang Pokok-
Pokok Perbendaharaan Negara”
1983 – 1984
8 Panitia Soegito Mengolah kembali RUU hasil panitia
Gandhi yang kemudian diberi judul
“Undang-undang tentang
perbendaharaan Negara”
1984 – 1988
9 Tim Intern Badan Menyusun konsep RUU berjudul 1990
3
Pemeriksa Keuangan “Undang-undang tentang Keuangan
Negara”
10 Panitia Taufik Mengkaji ulang hasil Panitia Soegito dan
hasilnya tetap diberi judul “Undangundang
tentang Perbendaharaan Negara”
1989 – 1993
11 Tim Pengkajian dan
Penyempurnaan RUU
Perbendaharaan Negara
Mengkaji dan menyempurnakan RUU
Perbendaharaan Negara hasil panitia
Taufik dan tetap diberi judul “Undangundang
tentang Perbendaharaan
Negara”, Namun hanya mengatur aspek
pelaksanaan dan pertanggungjawaban
anggaran, yaitu sebagian dari siklus
anggaran. Hal ini dilakukan karena RUU
Perbendaharaan Negara ini merupakan
bagian dari paket RUU bidang Keuangan
Negara yang terdiri atas:
a. RUU tentang Ketentuan Pokok
Keuangan Negara
b. RUU tentang Perbendaharaan
Negara
1998 – 1999
12 Tim Counterpart RUU
BPK
Menyusun RUU yang diberi judul “RUU
tentang Pemeriksaan Badan Pemeriksa
Keuangan atas Tanggung Jawab
Pengelolaan Keuangan Negara”
1999
13 Tim Penyusunan RUU
Ketentuan Pokok
Keuangan Negara
Merupakan Tim Pemerintah bersama
Badan Pemeriksa Keuangan berhasil
menyusun kembali RUU hasil Tim
Pengkajian dan Penyuempurnaan RUU
Perbendaharaan Negara dan Tim RUU
Bidang Keuangan Negara yang terdiri
atas:
a. RUU tentang Keuangan Negara
b. RUU tentang Perbendaharaan
Negara
c. RUU tentang Pemeriksaan
Tanggung Jawab Keuangan
Negara, dan
Paket tersebut telah diajukan ke DPR
1999-2001
14 Komite Penyempurnaan
Manajemen Keuangan
Melanjutkan tim Penyusunan RUU
Ketentuan Pokok Keuangan Negara, dan
telah menghasilkan UU Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara dan UU
No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara.
2001 –
sekarang
Sumber: Prinsip Keuangan Negara, 2001
Hingga tahun 2003 yang lalu–sebelum UU No.17/2003 diundangkanaturan
yang berlaku untuk pengelolaan Keuangan Negara masih menggunakan
peraturan peninggalan pemerintahan kolonial Belanda seperti Indische
Comptabiliteitswet yang lebih dikenal dengan nama ICW stbl. 1925 No.488 yang
ditetapkan pertama kali pada tahun 1864 dan mulai berlaku tahun 1867. Selain
4
ICW ada juga Indische Bedrijvenwet (IBW) stbl. 1927 No. 419 jo. Stbl. 1936 No.
445 dan Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) stbl. 1933 No.381.
Sementara itu untuk pelaksanaan pemeriksaan pertanggungjawaban
pengelolaan keuangan negara digunakan Insctructie en verdere bapelingen voor
Algemeene Rekenkamer (IAR) stbl. 1933 No.320.
Peraturan-peraturan seperti ICW, IAR, IBW, dan RAB, sengaja diciptakan
dan dibuat oleh pemerintahan Kolonial Belanda sebagai penguasa yang
menjajah Indonesia saat itu dengan pendekatan untuk menjaga kepentingan
negara Belanda atas Indonesia. Paradigma negeri jajahan itulah yang sangat
kental mewarnai peraturan-peraturan itu. Ketika diterapkan kepada sebuah
negara yang berdaulat dan merdeka seperti Indonesia saat ini, peraturanperaturan
itu sudah tidak lagi relevan dan layak dijadikan pedoman pengelolaan
keuangan negara. Merubah seluruh peraturan di atas dengan peraturan yang
bersemangat independensi dan menjunjung tinggi kedaulatan sebuah negara
yang merdeka dan berdaulat, tentunya harus dilakukan. Ke empat belas tim di
atas menyadari itu, tetapi upaya yang sangat panjang itu baru dapat mencapai
hasil pada tahun 2003, yaitu 58 tahun setelah masa kemerdekaan. Selain itu
muatan yang terdapat di dalam aturan-aturan kolonial itu sudah out of date dan
tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini, apalagi tingkat kompleksitas
permasalahan saat ini jauh lebih tinggi dari masa dulu. Oleh karena itu,
walaupun masih berlaku sebagai sebuah aturan perundang-undangan tetapi
secara materil sudah tidak dapat dilaksanakan.
Kekosongan perundang-undangan ini membuat lemahnya sistem
pengelolaan Keuangan Negara. Selama ini, kekosongan itu hanya dilengkapi
dengan Keputusan Presiden, yang terakhir diantaranya di atur oleh Keppres No.
42 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN dan Keppres 80 tahun
2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sebagaimana kita ketahui
bahwa Keputusan Presiden di dalam tata hukum tidak terlalu mengikat
sebagaimana sebuah undang-undang.
Dari kelemahan tata hukum itulah kemudian menjadi salah satu penyebab
banyaknya praktik penyimpangan dan KKN di dalam pengelolaan Keuangan
5
negara selama ini. Puncaknya dengan terjadi krisis moneter pertengahan 1997
yang telah memporak-porandakan tatanan ekonomi yang telah dibangun dengan
susah payah oleh pemerintahan era orde baru ditandai dengan anjloknya rupiah
hingga menembus level Rp 17.000 per satu USD. Krisis berlanjut hingga menjadi
krisis multidimensional yang kemudian melahirkan era reformasi. Era reformasi
inilah yang memberikan momentum terciptanya tata aturan baru dalam
pengelolaan keuangan negara.
Paket UU Keuangan Negara tersebut (yang terdiri dari dua UU yang sudah
diundangkan, yaitu UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU
No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara, serta satu RUU, yaitu RUU
Pemeriksaan pengelolaan Keuangan Negara yang masih dibahas di DPR)
merumuskan empat prinsip dasar pengelolaan keuangan negara, yaitu:
1. Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja;
2. Keterbukaan dalam setiap transaksi pemerintah;
3. Pemberdayaan manajer professional; dan
4. Adanya lembaga pemeriksa eksternal yang kuat, professional dan
mandiri serta dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan pemeriksaan.
Perubahan mendasar yang diatur oleh Undang-undang No.17 tahun 2003
yaitu:
a. Tentang pengertian dan ruang lingkup dari keuangan negara;
b. Azas-azas umum pengelolaan keuangan negara;
c. Kedudukan presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara;
d. Pendelegasian kekuasaan presiden kepada menteri Keuangan dan
Menteri/Pimpinan Lembaga;
e. Susunan APBN dan APBD;
f. Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD;
g. Pengaturan Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan
bank sentral, pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing;
h. Pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan
perusahaan daerah dan perusahaan swasta;
6
i. Badan pengelola dana masyarakat; dan
j. Penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.
k. Penggunaan Medium Term Expenditure Framework (MTEF) sebagai
pengganti Propenas dan Repeta.
Sedangkan perubahan mendasar dalam pengelolaan perbendaharaan
negara yang tercantum dalam UU No.1 tahun 2004 yaitu:
1. Penerapan anggaran berbasis kinerja;
2. Pemberlakuan pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja
negara berbasis akrual;
3. Munculnya jabatan fungsional Perbendaharaan Negara;
4. Pemberian jasa giro atau bunga atas dana pemerintah yang disimpan
pada bank sentral;
5. Sertifikan Bank Indonesia yang selama ini menjadi instrumen moneter
akan digantikan oleh Surat Utang Negara; dll.
III. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Negara
Perumusan keuangan negara menggunakan beberapa pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan dari sisi obyek;
2. Pendekatan dari sisi subyek;
3. Pendekatan dari sisi proses; dan,
4. Pendekatan dari sisi tujuan.
Dari sisi obyek Keuangan Negara akan meliputi seluruh hal dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang, di dalamnya termasuk berbagai
kebijakan dan kegiatan yang terselenggara dalam bidang fiskal, moneter dan
atau pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Selain itu segala sesuatu
dapat berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
7
Dari sisi subyek, keuangan negara meliputi negara, dan/atau pemerintah
pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada
kaitannya dengan keuangan negara.
Keuangan Negara dari sisi proses mencakup seluruh rangkaian kegiatan
yang berkaitan dengan pengelolaan obyek di atas mulai dari proses perumusan
kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.
Terakhir, keuangan negara juga meliputi seluruh kebijakan, kegitan dan
hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek
sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
negara, pendekatan terakhir ini dilihat dari sisi tujuan.
Dengan pendekatan sebagaimana diuraikan di atas, UU No. 17/2003
merumuskan sebagai berikut: Keuangan negara adalah “semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik
berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”. (Pasal 1 huruf 1
UU No. 17/2003).
Ruang lingkup keuangan negara sesuai dengan pengertian tersebut
diuraikan dalam Pasal 2 UU No. 17/2003 meliputi:
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan
uang, dan melakukan pinjaman;
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang
dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara atau daerah;
8
h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.1
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas secara ringkas
dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang
pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang
dipisahkan.
Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi enam fungsi, yaitu:
a. Fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal. Fungsi
pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal ini meliputi penyusunan
Nota Keuangan dan RAPBN, serta perkembangan dan perubahannya,
analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan perkembangan ekonomi makro,
pendapatan negara, belanja negara, pembiayaan, analisis kebijakan,
evaluasi dan perkiraan perkembangan fiskal dalam rangka kerjasama
internasional dan regional, penyusunan rencana pendapatan negara,
hibah, belanja negara dan pembiayaan jangka menengah, penyusunan
statistik, penelitian dan rekomendasi kebijakan di bidang fiskal, keuangan,
dan ekonomi.
b. Fungsi penganggaran. Fungsi ini meliputi penyiapan, perumusan, dan
pelaksanaan kebijakan, serta perumusan standar, norma, pedoman,
kriteria, prosedur dan pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang
APBN.
c. Fungsi administrasi perpajakan.
d. Fungsi administrasi kepabeanan.
e. Fungsi perbendaharaan. Fungsi perbendaharaan meliputi perumusan
kebijakan, standard, sistem dan prosedur di bidang pelaksanaan
penerimaan dan pengeluaran negara, pengadaan barang dan jasa
instansi pemerintah serta akuntansi pemerintah pusat dan daerah,
1 Kekayaan pihak lain ini meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan
kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan
negara daerah.
9
pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara, pengelolaan kas
negara dan perencanaan penerimaan dan pengeluaran, pengelolaan
utang dalam negeri dan luar negeri, pengelolaan piutang, pengelolaan
barang milik/kekayaan negara (BM/KN), penyelenggaraan akuntansi,
pelaporan keuangan dan sistem informasi manajemen keuangan
pemerintah.
f. Fungsi pengawasan keuangan.
Sementara itu, bidang moneter meliputi sistem pembayaran, sistem lalu
lintas devisa, dan sistem nilai tukar. Adapun bidang pengelolaan kekayaan
negara yang dipisahkan meliputi pengelolaan perusahaan negara/daerah
IV. Asas-asas Pengelolaan Keuangan Negara
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam
penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan
secara professional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan
pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945. Sebagai penjabaran aturan pokok
yang telah ditetapkan dalam UUD 1945 tersebut, UU No. 17/2003
menjabarkannya ke dalam asas-asas umum yang telah lama dikenal dalam
pengelolaan kekayaan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas
kesatuan dan asas spesialitas; maupun asas-asas baru sebagai pencerminan
best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan
keuangan negara, antara lain: akuntabilitas berorientasi pada hasil,
profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan
negara, dan pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan
mandiri.
10
V. Kekuasaan atas Keuangan Negara
Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. (Pasal 6 UU
No. 17/2003)
Pada dasarnya Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang
kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan
pemerintahan. Sebagian kekuasaan itu diserahkan kepada Menteri Keuangan
yang kemudian berperan sebagai pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam
kepemilikan negara dalam kekayaan negara yang dipisahkan. Sebagian
kekuasaan lainnya diberikan kepada menteri/pimpinan lembaga sebagai
pengguna anggaran/pengguna barang lembaga/kementrian yang dipimpinnya.
Jika Presiden memiliki fungsi sebagai Chief Executive Officer (CEO) maka
Menteri Keuangan berperan dan berfungsi sebagai Chief Financial Officer (CFO)
sedangkan menteri/pimpinan lembaga berperan sebagai Chief Operating
Officers (COOs). Hubungan tersebut tergambar seperti pada gambar 1.
Gambar 1:
Delegasi wewenang kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara
I. MENTERI
TEKNIS
Sebagai
II. COO
PRESIDEN
Sebagai
CEO
III. MENTERI
TEKNIS
Sebagai
IV. COO
MENTERI
KEUANGAN
Sebagai
CFO
MENTERI TEKNIS
Sebagai
COO
11
Pemisahan fungsi seperti di atas dimaksudkan untuk membuat kejelasan
dan kepastian dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab. Sebelumnya
fungsi-fungsi tersebut belum terbagi secara tegas sehingga seringkali terjadi
tumpang tindih antar lembaga. Pemisahan ini juga dilakukan untuk menegaskan
terlaksananya mekanisme checks and balances. Selain itu, dengan fokusnya
fungsi masing-masing kementrian atau lembaga diharapkan dapat meningkatkan
profesionalisme di dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah.
Menteri Keuangan dengan penegasan fungsi sebagai CFO akan memiliki
fungsi-fungsi antara lain:
1. Pengelolaan kebijakan fiskal;
2. Penganggaran;
3. Administrasi Perpajakan;
4. Administrasi Kepabeanan;
5. Perbendaharaan (Treasury); dan
6. Pengawasan Keuangan.
Seperti halnya pemerintah pusat, pengelolaan keuangan daerah juga
menggunakan pendekatan pembagian fungsi yang tidak berbeda.
Gubernur/Bupati/Walikota akan memiliki fungsi sebagai pemegang kekuasaan
pengelolaan Keuangan Daerah atau CEO, dinas-dinas sebagai COO, dan
pengelola Keuangan Daerah sebagai CFO.
12
VI. Pengertian dan Ruang Lingkup APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana
keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat. (Pasal 1 angka 7, UU No. 17/2003). Merujuk Pasal 12 UU No. 1/2004
tentang Perbendaharaan Negara, APBN dalam satu tahun anggaran meliputi:
a. Hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan
bersih;
b. Kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan
bersih;
c. Penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan
diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun
pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Semua penerimaan dan pengeluaran negara dilakukan melalui rekening
kas umum negara. (Pasal 12 ayat (2) UU No. 1/2004)
Tahun anggaran adalah periode pelaksanaan APBN selama 12 bulan.
Sejak tahun 2000, Indonesia menggunakan tahun kalender sebagai tahun
anggaran, yaitu dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.
Sebelumnya, tahun anggaran dimulai tanggal 1 April sampai dengan 31 Maret
tahun berikutnya. Penggunaan tahun kalender sebagai tahun anggaran ini
kemudian dikukuhkan dalam UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan
Negara (Pasal 4 UU No. 17/2003 dan Pasal 11 UU No. 1/2004).
Sebagaimana ditegaskan dalam Bagian Penjelasan UU No. 17/2003,
anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi.
Sebagai fungsi akuntabilitas, pengeluaran anggaran hendaknya dapat
dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan hasil (result) berupa outcome atau
setidaknya output dari dibelanjakannya dana-dana publik tersebut. Sebagai alat
manajemen, sistem penganggaran selayaknya dapat membantu aktivitas
berkelanjutan untuk memperbaiki efektifitas dan efisiensi program pemerintah.
Sedangkan sebagai instrumen kebijakan ekonomi, anggaran berfungsi untuk
mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan
13
pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara.
Merujuk Pasal 3 Ayat (4) UU No. 17/2003, APBN mempunyai fungsi
otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi dan stabilisasi. Fungsi
otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk
melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. Fungsi
perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman bagi
manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi
pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan negara sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa
anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan
pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas
perekonomian. Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran
negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Fungsi stabilisasi
mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara
dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
Tabel 1 di bawah menyajikan struktur APBN. Struktur APBN terdiri dari
pendapatan negara dan hibah, belanja negara, keseimbangan primer,
surplus/defisit, dan pembiayaan. Sejak TA 2000, Indonesia telah mengubah
komposisi APBN dari T-account menjadi I-account sesuai dengan standar
statistik keuangan pemerintah, Government Finance Statistics (GFS).
Pendapatan Negara dan Hibah. Penerimaan APBN diperoleh dari
berbagai sumber. Secara umum yaitu penerimaan pajak yang meliputi pajak
penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Cukai, dan
Pajak lainnya, serta Pajak Perdagangan (bea masuk dan pajak/pungutan ekspor)
merupakan sumber penerimaan utama dari APBN. Selain itu, penerimaan
negara bukan pajak (PNBP) meliputi penerimaan dari sumber daya alam,
setoran laba BUMN, dan penerimaan bukan pajak lainnya, walaupun
memberikan kontribusi yang lebih kecil terhadap total penerimaan anggaran,
jumlahnya semakin meningkat secara signifikan tiap tahunnya. Berbeda dengan
14
sistem penganggaran sebelum tahun anggaran 2000, pada sistem
penganggaran saat ini sumber-sumber pembiayaan (pinjaman) tidak lagi
dianggap sebagai bagian dari penerimaan.
Dalam pengadministrasian penerimaan negara, departemen/lembaga tidak
boleh menggunakan penerimaan yang diperolehnya secara langsung untuk
membiayai kebutuhannya. Beberapa pengeculian dapat diberikan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan terkait.
Belanja Negara. Belanja negara terdiri atas anggaran belanja pemerintah
pusat, dana perimbangan, serta dana otonomi khusus dan dana penyeimbang.
Sebelum diundangkannya UU No. 17/2003, anggaran belanja pemerintah pusat
dibedakan atas pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. UU No.
17/2003 mengintrodusing uniffied budget sehingga tidak lagi ada pembedaan
antara pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Dana perimbangan
terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus
(DAK). Sementara itu, dana otonomi khusus dialokasikan untuk provinsi Daerah
Istimewa Aceh dan provinsi Papua.
Defisit dan Surplus. Defisit atau surplus merupakan selisih antara
penerimaan dan pengeluaran. Pengeluaran yang melebihi penerimaan disebut
defisit; sebaliknya, penerimaan yang melebihi pengeluaran disebut surplus.
Sejak TA 2000, Indonesia menerapkan anggaran defisit menggantikan anggaran
berimbang dan dinamis yang telah digunakan selama lebih dari tiga puluh tahun.
Dalam tampilan APBN, dikenal dua istilah defisit anggaran, yaitu:
keseimbangan primer (primary balance) dan keseimbangan umum (overall
balance). Keseimbangan primer adalah total penerimaan dikurangi belanja tidak
termasuk pembayaran bunga. Keseimbangan umum adalah total penerimaan
dikurangi belanja termasuk pembayaran bunga.
Pembiayaan. Pembiayaan diperlukan untuk menutup defisit anggaran.
Beberapa sumber pembiayaan yang penting saat ini adalah: pembiayaan dalam
negeri (perbankan dan non perbankan) serta pembiayaan luar negeri (netto)
yang merupakan selisih antara penarikan utang luar negeri (bruto) dengan
pembayaran cicilan pokok utang luar negeri.
15
Tabel 1
I-Account APBN 2004
A. PENDAPATAN NEGARA dan HIBAH
I. Penerimaan Dalam Negeri
1. Penerimaan Perpajakan
Pajak Dalam Negeri
i. Pajak Penghasilan
1. Minyak dan Gas
2. Non Minyak dan Gas
ii. Pajak Pertambahan Nilai
iii. Pajak Bumi dan Bangunan
iv. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
v. Cukai
vi. Pajak Lainnya
Pajak Perdagangan Internasional
i. Bea Masuk
ii. Pajak/Pungutan Ekspor
2. Penerimaan Bukan Pajak
Penerimaan Sumber Daya Alam
i. Minyak Bumi
ii. Gas Alam
iii. Pertambangan Umum
iv. Kehutanan
v. Perikanan
Bagian Laba BUMN
PNBP Lainnya
II. Hibah
B. BELANJA NEGARA
I. Anggaran Belanja Pemerintah Pusat
1. Pengeluaran Rutin
Belanja Pegawai
Belanja Barang
Pembayaran Bunga Hutang
i. Hutang Dalam Negeri
ii. Hutang Luar Negeri
Subsidi
i. Subsidi BBM
ii. Subsidi Non BBM
Pengeluaran Rutin Lainnya
2. Pengeluaran Pembangunan
Pembiayaan Pembangunan Rupiah
Pembiayaan Proyek
II. Dana Perimbangan
1. Dana Bagi Hasil
2. Dana Alokasi Umum
3. Dana Alokasi Khusus
16
III. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang
C. KESEIMBANGAN PRIMER
D. SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN (A-B)
E. PEMBIAYAAN (E.I + E.II)
I. Dalam Negeri
1. Perbankan Dalam Negeri
2. Non-perbankan Dalam Negeri
Privatisasi
Penjualan Aset program restrukturisasi perbankan
Obligasi Negara (netto)
i. Penerbitan Obligasi Pemerintah
ii. Pembayaran Cicilan Pokok Hutang/Obligasi DN
II. Luar Negeri
1. Pinjaman Proyek
2. Pembayaran Cicilan Pokok Hutang LN
3. Pinjaman Program dan Penundaan Cicilan Hutang
VII. Proses APBN Pra UU No. 17/2003
VII.1. Penyusunan dan Penetapan APBN
Proses penyusunan dan penetapan APBN dapat dikelompokkan dalam dua
tahap, yaitu: (1) pembicaraan pendahuluan antara pemerintah dan DPR, dari
bulan Februari sampai dengan pertengahan bulan Agustus dan (2) pengajuan,
pembahasan dan penetapan APBN, dari pertengahan bulan Agustus sampai
dengan bulan Desember. Berikut ini diuraikan secara singkat kedua tahapan
dalam proses penyusunan APBN tersebut.
Pembicaraan Pendahuluan antara Pemerintah dan DPR. Tahap ini
diawali dengan beberapa kali pembahasan antara pemerintah dan DPR untuk
menentukan mekanisme dan jadwal pembahasan APBN. Kegiatan dilanjutkan
dengan persiapan rancangan APBN oleh pemerintah, antara lain meliputi
penentuan asumsi dasar APBN, perkiraan penerimaan dan pengeluaran, skala
17
prioritas dan penyusunan budget exercise untuk dibahas lebih lanjut dalam rapat
antara Panitia Anggaran dengan Menteri Keuangan dengan atau tanpa
Bappenas. Pada tahapan ini juga diadakan rapat komisi antara masing-masing
komisi (Komisi I s.d IX) dengan mitra kerjanya (departemen/lembaga teknis).
Tahapan ini diakhiri dengan proses finalisasi penyusunan RAPBN oleh
Pemerintah. Secara lebih rinci, tahapan ini bisa dijelaskan sebagai berikut:
Menteri Keuangan dan Badan Perencanaan Nasional (BAPPENAS) atas
nama Presiden mempunyai tanggung jawab dalam mengkoordinasikan
Penyusunan APBN. Menteri Keuangan bertanggungjawab untuk
mengkoordinasikan penyusunan anggaran belanja rutin. Sementara itu
Bappenas bersama-sama dengan Menteri Keuangan bertanggung jawab dalam
mengkoordinasikan penyusunan anggaran belanja pembangunan.
Persiapan anggaran dimulai dengan assessment indikator fiskal makro oleh
Badan Analisa Fiskal, Departemen Keuangan. Selanjutnya Menteri Keuangan
dan Kepala Bappenas menerbitkan Surat Edaran agar departemen teknis
mengajukan usulan anggaran rutin maupun pembangunan. Usulan anggaran
rutin (Daftar Usulan Kegiatan, DUK) diajukan ke Direktorat Jenderal Anggaran
(DJA) pada bulan Juni. DUK tersebut lebih terfokus pada program costing dan
perubahan harga. DJA dan departemen teknis mereview DUK tersebut dengan
titik tekan pada costing ketimbang policy. Pada bulan Agustus, DJA menerbitkan
pagu pengeluaran rutin sebagai dasar bagi departemen teknis untuk menyusun
anggaran rutin lebih detil.
Sementara itu, usulan anggaran pembangunan diajukan oleh departemen
teknis kepada DJA dan Bappenas. DJA dan Bappenas mereview usulan
anggaran pembangunan tersebut berdasarkan Program Pembangunan Nasional
(PROPENAS) dan Rencana Pembangunan Tahunan (REPETA). Menteri
Keuangan memberikan pertimbangan mengenai pagu anggaran pembangunan
sebagai dasar pembahasan antara DJA, Bappenas, dan departemen teknis.
Selanjutnya pada bulan Agustus, Presiden mengajukan Nota Keuangan dan
RAPBN kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.
18
Pengajuan, pembahasan dan penetapan APBN. Tahapan ini dimulai
dengan Pidato Presiden sebagai pengantar RUU APBN dan Nota Keuangan.
Selanjutnya akan dilakukan pembahasan baik antara Menteri Keuangan dengan
Panitia Anggaran, maupun antara komisi-komisi dengan departemeen/lembaga
teknis terkait. Hasil dari pembahasan ini adalah Undang-undang APBN yang
disahkan oleh DPR. UU APBN kemudian dirinci ke dalam satuan 3. Satuan 3
yang merupakan bagian tak terpisahkan dari undang-undang tersebut adalah
dokumen anggaran yang menetapkan alokasi dana per departemen/lembaga,
Sektor, Sub Sektor, Program dan Proyek/Kegiatan.
Apabila DPR menolak RAPBN yang diajukan pemerintah tersebut, maka
pemerintah menggunakan APBN tahun sebelumnya. Hal itu berarti pengeluaran
maksimum yang dapat dilakukan pemerintah harus sama dengan pengeluaran
tahun lalu.
VII.2. Pelaksanaan Anggaran
Berdasarkan satuan 3, Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) dan
Departemen/Lembaga membahas rincian pengeluaran rutin berdasarkan
pedoman penyusunan DIK dan indeks satuan biaya yang disusun oleh tim
interdep. Proses ini harus diselesaikan dari Oktober sampai dengan Desember.
Sedangkan untuk pengeluaran pembangunan, DJA, Bappenas, dan departemen
teknis membahas rincian pengeluaran untuk tiap-tiap proyek. Hasil pembahasan
tersebut didokumentasikan ke dalam dokumen-dokumen berikut: (1) Dokumen
Isian Kegiatan (DIK). DIK merupakan dokumen anggaran yang berlaku sebagai
otorisasi untuk pengeluaran rutin pada masing-masing unit organisasi pada
Departemen/Lembaga yang dirinci ke dalam belanja pegawai dan non pegawai.
(2) Daftar Isian Proyek (DIP). DIP merupakan dokumen anggaran yang berlaku
sebagai otorisasi untuk pengeluaran pembangunan untuk masing-masing
proyek pada Departemen/Lembaga yang dirinci ke dalam belanja modal dan
penunjang. (3) Surat Pengesahan Alokasi Anggaran Rutin (SPAAR). SPAAR
adalah dokumen yang menetapkan besaran alokasi anggaran rutin untuk setiap
19
kantor/satuan kerja departemen teknis di daerah yang selanjutnya akan dibahas
antara Kantor Wilayah DJA dan instansi vertikal Departemen/Lembaga untuk
kemudian dituangkan dalam DIK. (4) Surat Pengesahan Alokasi Anggaran
Pembangunan (SPAAP). SPAAP adalah dokumen yang menetapkan besaran
alokasi anggaran pembangunan untuk setiap proyek/bagian proyek yang
selanjutnya akan dibahas antara Kantor Wilayah DJA dengan ins-tansi
vertikal/dinas untuk kemudian di-tuangkan dalam DIP. (5) Surat Keputusan
Otorisasi (SKO). SKO adalah dokumen otorisasi untuk penyediaan dana
kepada Departemen, Lembaga, Pemerintah Daerah dan pihak lain yang berhak
baik untuk rutin maupun pembangunan yang tidak dapat ditampung dengan DIK
atau DIP.
DIK/DIP/SKO disampaikan oleh Direktorat Jenderal Anggaran kepada
Departemen/Lembaga. Berdasarkan dokumen-dokumen tersebut,
Departemen/Lembaga melaksanakan pengadaan barang dan jasa dengan pihak
ketiga. Tagihan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan pengadaan barang dan
jasa tersebut disampaikan kepada Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
(KPKN). Selanjutnya KPKN meneliti keabsahan tagihan-tagihan dimaksud dan
menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM).
Untuk mengawasi pelaksanaan tugas KPKN tersebut, di lingkungan
Direktorat Jenderal Anggaran terdapat Kantor Verifikasi Pelaksanaan Anggaran
(KASIPA) yang bertanggung jawab untuk memverifikasi Surat Perintah
Membayar (SPM) yang diterbitkan oleh KPKN.
Dalam rangka melaksanakan manajemen kas dan untuk mencegah
departemen/lembaga melakukan pengeluaran secara berlebihan pada awal
periode tahun anggaran, Menteri Keuangan membatasi jumlah pengeluaran rutin
untuk satu triwulan maksimal sama dengan seperempat dari jumlah alokasi dana
yang tersedia. Sedangkan untuk belanja pembangunan, pencairan dana
disesuaikan dengan tingkat kemajuan prestasi penyelesaian proyek.
20
VII.3. Pengawasan dan Pertanggungjawaban APBN
Fungsi pengawasan pelaksanaan APBN dilakukan oleh pengawas
fungsional baik eksternal maupun internal pemerintah. Pengawasan eksternal
dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyampaikan hasil
pengawasannya kepada DPR. Sementara itu, pengawasan internal dilakukan
oleh inspektorat jenderal/inspektorat utama pada masing-masing
departemen/lembaga dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) pada semua departemen/lembaga (termasuk BUMN). Pengawasan yang
dilakukan oleh pengawas internal maupun eksternal tersebut di atas bersifat post
audit.
Berdasarkan realisasi penerimaan dan pengeluaran APBN dalam tahun
anggaran berjalan, Menteri Keuangan menyiapkan Rancangan Undang-Undang
Perhitungan Anggaran Negara (RUU PAN) dan diajukan kepada presiden untuk
mendapatkan persetujuan.
Selanjutnya RUU PAN tersebut disampaikan kepada BPK untuk diaudit.
Presiden mengajukan RUU PAN yang telah diaudit oleh BPK tersebut kepada
DPR paling lambat 15 bulan setelah berakhirnya tahun anggaran bersangkutan.
Setelah DPR menyetujui RUU PAN tersebut, Presiden mengesahkan RUU
PAN menjadi Undang-undang Perhitungan Anggaran (UU PAN).
VIII. Proses APBN Pasca UU No. 17/2003
Sebelum diuraikan proses APBN pasca UU No. 17/2003, kiranya perlu
diuraikan terlebih dahulu pokok-pokok reformasi dalam penganggaran
sebagaimana tertuang dalam UU No. 17/2003.
VIII.1. Pokok-pokok Reformasi Penganggaran
UU No. 17/2003 mereformasi secara signifikan sistem penganggaran yang
telah puluhan tahun diterapkan di Indonesia. Secara singkat, faktor-faktor yang
21
mendorong reformasi di bidang penganggaran ini adalah:
(1) Ada beberapa aspek dari proses penganggaran di Indonesia yang
menghambat pendistribusian dana anggaran ke berbagai program;
(2) Perkiraan pendapatan dan proyeksi anggaran negara tidak disiapkan dalam
suatu kerangka makro;
(3) Tidak ada suatu kerangka penyatuan anggaran (unified framework for
budgeting) mengingat anggaran rutin dan pembangunan disiapkan secara
terpisah;
(4) Sistem penganggaran yang berlaku menimbulkan kurangnya informasi
mengenai hasil suatu program (program results);
(5) Pelaksanaan anggaran dan monitoring masih menjadi hal yang lemah;
(6) Susunan alokasi anggaran yang cukup terinci, secara tidak langsung
mencerminkan kontrol yang kuat, namun dalam realisasinya ditengarai
menimbulkan berbagai penyimpangan (KKN) dan kebocoran anggaran.
Pokok-pokok reformasi penganggaran yang terpenting meliputi:
(1) Penerapan pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka
menengah;
(2) Memadukan (unifying) atau mengintegrasikan anggaran rutin dan anggaran
pembangunan;
(3) Penerapan anggaran berbasis kinerja.
VIII.1.1. Medium Term Expenditure Framework2
Penuangan rencana pembangunan dalam suatu dokumen perencanaan
nasional lima tahunan yang ditetapkan dengan undang-undang dirasakan tidak
realistis dan semakin tidak sesuai dengan dinamika kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan dalam era globalisasi. Perkembangan dinamis dalam
penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan sistem perencanaan fiskal yang
terdiri dari system penyusunan anggaran tahunan yang dilaksanakan sesuai
2 Basic reading mengenai MTEF dapat ditemukan pada website Bank Dunia. Untuk literatur berbahasa
Indonesia, dapat dibaca misalnya: Sjahruddin Rasul, Pengintegrasian Sistem Akuntabilitas Kinerja dan
Anggaran Dalam Perspektif UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, Jakarta: PNRI, 2003.
22
dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure
Framework) sebagaimana dilaksanakan di kebanyakan negara maju.
Berdasarkan hal ini, UU No. 17/2003 mengintrodusir dilaksanakannya Kerangka
Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework) ini.
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure
Framework) merupakan kerangka pengeluaran jangka menengah meliputi
periode tiga sampai lima tahun. Kerangka tersebut merupakan pendekatan atasbawah
(top-down approach), yaitu estimasi ketersediaan sumber daya
pengeluaran publik sesuai dengan kerangka ekonomi makro. Sementara itu,
pendekatan bawah ke atas (bottom-up approach) yaitu biaya yang harus
dikeluarkan dalam rangka melaksanakan kebijakan, program, dan kegiatan,
serta kerangka kerja yang merekonsiliasikan keseluruhan biaya dengan sumbersumber
daya yang tersedia sesuai dengan tujuan utamanya, yaitu: “untuk
memastikan bahwa pemerintah mampu untuk melakukan prioritas-prioritas
rekonstruksi dan pembangunan dalam konteks estimasi pengeluaran tiga
tahunan yang konsisten dengan suatu kerangka makroekonomi yang baik”.
Gambar 1 di bawah menyajikan siklus MTEF. MTEF terdiri dari dua sub
proses, yaitu penetapan target fiskal (setting fiscal targets) dan alokasi sumbersumber
daya pada pilihan strategis (allocation of resources to strategic).
Kemudian, sub proses penetapan target fiskal juga dibagi ke dalam dua sub-sub
proses, yaitu pembaharuan kondisi ekonomi dan fiskal serta pernyataan
kerangka fiscal. Sub proses alokasi sumber-sumber daya pada pilihan strategis
juga dibagi menjadi dua sub-sub proses, yaitu pernyataan kebijakan anggaran
dan review fundamental. Ringkasnya, dalam proses pengambilan keputusan,
proses dan sub proses tersebut bukan merupakan hal yang berdiri sendiri, tetapi
terkait satu dengan yang lainnya.
Secara sederhana, siklus MTEF dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pembaharuan kondisi ekonomi dan fiskal merupakan langkah pertama dalam
siklus persiapan anggaran. Langkah tersebut diikuti dengan langkah selanjutnya,
yaitu kabinet menetapkan tujuan jangka panjang mengenai kebijakan fiskal dan
kebijakan ekonomi makro. Tujuan-tujuan ini kemudian dijabarkan ke dalam
23
tujuan-tujuan jangka pendek. Penetapan target fiskal diikuti alokasi sumbersumber
daya pada strategi-strategi yang ditetapkan. Kabinet kemudian
menetapkan prioritas anggaran. Prioritas anggaran merupakan negosiasi
strategis di antara berbagai sektor dalam proses alokasi sumber daya.
Gambar 1
Medium Term Expenditure Framework
Medium Term Expenditure Framework
Setting Fiscal Targets Allocation of Resources to Strategic
Economic and
Fiscal Update
Fiscal
Framework
Budget Policy
Statement
Fundamental
Reviews
Budget Call
Circular
Preparation of
Portfolio Budget
Statements
Budget Negotiation
Compilation of
Portfolio Budget
Statements
Government
Budget
Reconciliation
Statement
Ministry of Finance PRESIDENT Line Ministries
24
Merujuk literatur keuangan negara, dengan diterapkannya MTEF akan
dapat dicapai tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Meningkatkan keseimbangan ekonomi makro dengan membangun
kerangka kerja sumber daya yang konsisten dan realistis;
2. Meningkatkan alokasi sumber daya kepada prioritas yang strategis di antara
dan di dalam organisasi;
3. Meningkatkan komitmen untuk memberikan kemampuan prediksi, baik
kebijakan maupun pendanaan, sehingga instansi pemerintah dapat
membuat rencana dan program yang berkelanjutan;
4. Memberikan batasan yang jelas kepada instansi pemerintah, meningkatkan
otonomi, dan memberikan penghargaan kepada instansi pemerintah yang
menggunakan dana secara efisien dan efektif;
5. Meningkatkan akuntabilitas dan kredibilitas secara politis dalam rangka
menghasilkan outcome yang diinginkan.
VIII.1.2. Unified Budget3
Sebelum diberlakukannya UU No. 17/2003, Belanja Negara dibedakan atas
pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan (dual-budgeting).
Pengeluaran rutin didefinisikan sebagai pengeluaran untuk keperluan
operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan. Pengeluaran rutin
mencakup belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga, subsidi, dan
belanja lain-lain. Sementara pengeluaran pembangunan didefinisikan sebagai
pengeluaran yang menghasilkan nilai tambah aset, baik fisik maupun non fisik,
yang dilaksanakan dalam periode tertentu. Belanja pembangunan adalah pengeluaran
berkaitan dengan proyek-proyek yang meliputi belanja modal dan belanja
penunjang. Belanja modal mencakup pembebasan tanah, pengadaan mesin dan
peralatan, konstruksi bangunan dan jaringan (infrastruktur), dan belanja modal
fisik maupun non fisik lainnya. Sementara itu, belanja penunjang yang
3 Bagian ini diambil dari: Anggito Abimanyu, “Format Anggaran Terpadu Menghilangkan Tumpang
Tindih”, Kompas, Mei 2004.
25
dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan proyek terdiri dari gaji/upah, bahan,
perjalanan dinas, dan belanja penunjang lainnya.
Pemisahan anggaran rutin dan anggaran pembangunan tersebut semula
dimaksudkan untuk menekankan arti pentingnya pembangunan, namun dalam
pelaksanaannya telah menunjukan banyak kelemahan. Pertama, duplikasi
antara belanja rutin dan belanja pembangunan oleh karena kurang tegasnya
pemisahan antara kegiatan operasional organisasi dan proyek, khususnya
proyek-proyek non-fisik. Dengan demikian, kinerja sulit diukur karena alokasi
dana yang ada tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya. Kedua,
penggunaan “dual budgeting” mendorong dualisme dalam penyusunan daftar
perkiraan mata anggaran keluaran (MAK) karena untuk satu jenis belanja, ada
MAK yang diciptakan untuk belanja rutin dan ada MAK lain yang ditetapkan
untuk belanja pembangunan. Ketiga, analisis belanja dan biaya program sulit
dilakukan karena anggaran belanja rutin tidak dibatasi pada pengeluaran untuk
operasional dan belanja anggaran pembangunan tidak dibatasi pada
pengeluaran untuk investasi. Keempat, proyek yang menerima anggaran
pembangunan diperlakukan sama dengan satuan kerja, yaitu sebagai entitas
akuntansi, walaupun proyek hanya bersifat sementara. Jika proyek sudah selesai
atau dihentikan tidak ada kesinambungan dalam pertanggungjawaban terhadap
asset dan kewajiban yang dimiliki proyek tersebut. Hal ini selain menimbulkan
ketidakefisienan dalam pembiayaan kegiatan pemerintahan, juga menyebabkan
ketidakjelasan keterkaitan antara output/outcome yang dicapai dengan
penganggaran organisasi.
Selanjutnya, sebagaimana diamanatkan oleh UU No.17 Tahun 2003, maka
sistem penganggaran mengacu pada praktek-praktek yang berlaku secara
internasional. Menurut GFS (Government Financial Statistics) Manual 2001,
sistem penganggaran belanja negara secara implisit menggunakan sistem
unified budget, dimana tidak ada pemisahan antara pengeluaran rutin dan
pembangunan, sehingga klasifikasi menurut ekonomi akan berbeda dari
klasifikasi sebelumnya. Dalam hal ini, belanja negara menurut klasifikasi
ekonomi dikelompokkan ke dalam (1) kompensasi untuk pegawai; (2)
26
penggunaan barang dan jasa; (3) kompensasi dari modal tetap berkaitan dengan
biaya produksi yang dilaksanakan sendiri oleh unit organisasi pemerintah; (4)
bunga hutang; (5) subsidi; (6) hibah; (7) tunjangan sosial (social benefits); dan
(8) pengeluaran-pengeluaran lain dalam rangka transfer dalam bentuk uang atau
barang, dan pembelian barang dan jasa dari pihak ketiga untuk dikirim kepada
unit lainnya.
Dalam melaksanakan perubahan format dan struktur belanja negara telah
dilakukan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian, namun tetap mengacu
GFS Manual 2001 dan UU No. 17 Tahun 2003. Beberapa catatan penting
berkaitan dengan perubahan dan penyesuaian format dan struktur belanja
negara yang baru antara lain:
Pertama, dalam format dan struktur I-account yang baru, belanja negara
tetap dipisahkan antara belanja pemerintah pusat dan belanja untuk daerah,
karena pos belanja untuk daerah yang berlaku selama ini tidak dapat
diklasifikasikan ke dalam salah satu pos belanja negara sebagaimana diatur
dalam UU No.17 Tahun 2003; Kedua, semua pengeluaran negara yang sifatnya
bantuan/subsidi dalam format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai subsidi;
dan Ketiga, semua pengeluaran negara yang selama ini ‘mengandung’ nama
lain-lain yang tersebar di hampir semua pos belanja negara, dalam format dan
struktur baru diklasifikasikan sebagai belanja lain-lain.
Dengan berbagai perubahan dan penyesuaian tersebut, belanja negara
menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja) terdiri dari (i) belanja pegawai, (ii)
belanja barang, (iii) belanja modal, (iv) pembayaran bunga utang, (v) subsidi, (vi)
hibah, (vii) bantuan sosial, dan (viii) belanja lain-lain. Sedangkan belanja untuk
daerah, sebagaimana yang berlaku selama ini terdiri dari (i) dana perimbangan,
dan (ii) dana otonomi khusus dan penyesuaian. Dengan adanya perubahan
format dan struktur belanja negara menurut jenis belanja maka secara otomatis
tidak ada lagi pemisahan antara belanja rutin dan belanja pembangunan (unified
budget).
Beberapa pengertian dasar terhadap komponen-komponen penting dalam
belanja tersebut, antara lain;
27
Belanja pegawai menampung seluruh pengeluaran negara yang digunakan
untuk membayar gaji pegawai, termasuk berbagai tunjangan yang menjadi
haknya, dan membayar honorarium, lembur, vakasi, tunjangan khusus dan
belanja pegawai transito, serta membayar pensiun dan asuransi kesehatan
(kontribusi sosial). Dalam klasifikasi tersebut termasuk pula belanja gaji/upah
proyek yang selama ini diklasifikasikan sebagai pengeluaran pembangunan.
Dengan format ini, maka akan terlihat pos yang tumpang tindih antara belanja
pegawai yang diklasifikasikan sebagai rutin dan pembangunan. Disinilah
nantinya efisiensi akan bisa diraih. Demikian juga dengan belanja barang yang
seharusnya digunakan untuk membiayai kegiatan operasional pemerintahan
untuk pengadaan barang dan jasa, dan biaya pemeliharaan aset negara.
Demikian juga sebaliknya sering diklasifikasikan sebagai pengeluaran
pembangunan. Belanja modal menampung seluruh pengeluaran negara yang
dialokasikan untuk pembelian barang-barang kebutuhan investasi (dalam bentuk
aset tetap dan aset lainnya). Pos belanja modal dirinci atas (i) belanja modal aset
tetap/fisik, dan (ii) belanja modal aset lainnya/non-fisik. Dalam prakteknya
selama ini belanja lainnya non-fisik secara mayoritas terdiri dari belanja pegawai,
bunga dan perjalanan yang tidak terkait langsung dengan investasi untuk
pembangunan. Subsidi menampung seluruh pengeluaran negara yang
dialokasikan untuk membayar beban subsidi atas komoditas vital dan strategis
tertentu yang menguasai hajat hidup orang banyak, dalam rangka menjaga
stabilitas harga agar dapat terjangkau oleh sebagian besar golongan
masyarakat. Subsidi tersebut dialokasikan melalui perusahaan negara dan
perusahaan swasta. Sementara itu, selama ini ada jenis subsidi yang sebetulnya
tidak ada unsur subsidinya, maka belanja tersebut akan dikelompokkan sebagai
bantuan sosial. Bantuan sosial menampung seluruh pengeluaran negara yang
dialokasikan sebagai transfer uang/barang yang diberikan kepada penduduk,
guna melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial, misalnya transfer
untuk pembayaran dana kompensasi sosial. Sementara itu, belanja untuk daerah
menampung seluruh pengeluaran pemerintah pusat yang dialokasikan ke
daerah, yang pemanfaatannya diserahkan sepenuhnya kepada daerah. Konversi
28
belanja negara menurut klasifikasi ekonomi dari format lama ke format baru
disajikan dalam Tabel 2 konversi belanja negara dibawah ini.
Tabel 2
VIII.1. 3. Anggaran Berbasis Kinerja
Sejalan dengan amanat UU No.17/2003, akan pula diterapkan secara
penuh anggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) di sektor
publik, agar penggunakan anggaran tersebut bisa dinilai kemanfaatan dan
kegunaannya bagi masyarakat. Sebagaimana dipahami, selama ini kita
menerapkan traditional budgeting atau dikenal pula sebagai line-item budgeting.
Line-item budgeting ini mempunyai sejumlah karakteristik penting, antara lain
tujuan utamanya adalah untuk melakukan kontrol keuangan, sangat berorientasi
pada input organisasi, penetapannya melalui pendekatan incremental (kenaikan
29
bertahap), dan tidak jarang dalam prakteknya memakai “kemampuan
menghabiskan atau menyerap anggaran” sebagai salah satu indikator penting
untuk mengukur keberhasilan organisasi.
Dalam praktek pelaksanaannya, karakteristik seperti di atas mengandung
banyak kelemahan. Dalam rejim pemerintahan yang sarat dengan KKN,
karakteristik yang berkaitan dengan tujuan untuk melakukan kontrol keuangan,
seringkali dilaksanakan hanya sebatas aspek administratifnya saja. Hal ini
mungkin untuk dilakukan karena ditunjang oleh karakteristik lainnya yaitu sangat
berorientasi pada input organisasi. Dengan demikian sistem anggaran tidak
memberikan informasi tentang kinerja, sehingga sangat sulit untuk melakukan
kontrol kinerja.
Kelemahan lainnya terkait dengan karakteristik penetapan anggaran
dengan pendekatan incremental, yaitu menetapkan rencana anggaran dengan
cara menaikkan jumlah tertentu pada jumlah anggaran yang lalu atau sedang
berjalan. Melalui pendekatan ini, analisis yang mendalam tentang tingkat
keberhasilan setiap program tidak dilakukan. Akibatnya adalah tidak tersedia
informasi yang logis dan rasional tentang rencana alokasi anggaran tahun yang
akan datang. Siapa atau unit mana mendapat berapa sering kali didasarkan
pada catatan historis semata dan tidak berorientasi pada tujuan organisasi.
Kelemahan lainnya terkait dengan penggunaan “kemampuan
menghabiskan anggaran” sebagai indikator keberhasilan. Apa yang sering terjadi
dalam prakteknya adalah perilaku birokrat yang selalu berusaha untuk
menghabiskan anggaran tanpa terkait dengan hasil dan kualitasnya. Tentu
keadaan ini semakin buruk jika dikaitkan dengan karakter birokrat yang menurut
Niskanen cenderung bersifat budget maximizer.
Sebagai akibat dari berbagai kelemahan di atas, maka masalah besar yang
dihadapi oleh sistem line-item budgeting adalah effectiveness problem, efficiency
problem, and accountability problem. Bahkan jikapun sistemnya sudah
transparan, maka informasi yang dapat diterima oleh masyarakat tidak terlalu
penting, karena hanya berkaitan dengan input organisasi.
30
Sebagai respons terhadap permasalahan sistem anggaran line-item di atas,
UU No. 17/2003 mengintrodusir sistem anggaran berbasis kinerja (performancebased
budgeting). Anggaran berbasis kinerja adalah sistem penganggaran yang
berorientasi pada output organisasi dan berkaitan sangat erat terhadap visi, misi,
dan rencana strategi organisasi. Anggaran kinerja mengalokasikan sumberdaya
pada program bukan pada unit organisasi semata dan memakai output
measurement sebagai indicator kinerja organisasi. Lebih jauh ia mengkaitkan
biaya dengan output organisasi sebagai bagian yang integral dalam berkas
anggarannya.
Sebagai illustrasi, dalam penentuan alokasi anggaran untuk pendidikan
dasar, maka didasarkan pada output yang ingin dicapai: berapa banyak murid
SD yang akan terdidik dalam satu tahun anggaran? Berapa prosentase
kelulusan murid SD yang ditargetkan? Berapa tinggi nilai rata-rata raport dan
nilai ujian akhir nasional yang ditargetkan? Dan seterusnya.
Tujuan dari penetapan output measurement yang dikaitkan dengan biaya
adalah untuk dapat mengukur tingkat efisiensi dan efektifitas. Hal ini sekaligus
merupakan alat untuk dapat menjalankan prinsip akuntabilitas, karena yang
diterima oleh masyarakat pada akhirnya adalah output dari suatu proses
kegiatan birokrasi.
Ukuran-ukuran kinerja pada sistem anggaran yang berorientasi pada kinerja
berguna pula bagi lembaga perwakilan rakyat (DPR/DPRD) pada saat
menjalankan fungsi pembentukan kebijakan, fungsi penetapan anggaran, dan
fungsi pelaksanaan pengawasan. Bagi manajemen puncak di pihak eksekutif
berguna untuk melakukan kontrol manajemen dan kontrol kualitas serta dapat
digunakan untuk sistem insentif pegawai. Dan pada akhirnya bagi masyarakat
dapat memberikan kejelasan tentang kinerja dan akuntabilitas pemerintah.4
4 Baca misalnya: Roy V. Salomo, “Anggaran yang Berorientasi Pada Kinerja dan Kepemerintahan yang
Baik”, Jurnal Forum Inovasi Vol. 5, Desember-Februari 2003, pp. 34-39; Public Expenditure Management
Handbook, Washington, D.C.: The World Bank, 1998.
31
VIII.2. Proses APBN Pasca Reformasi
VIII.2.1. Penyusunan dan Penetapan APBN
Pembicaraan Pendahuluan antara Pemerintah dan DPR. Tahapan ini
dimulai dengan penyampaian pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka
ekonomi makro oleh Pemerintah kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan
Mei tahun berjalan. (Pasal 13 ayat (1) UU No. 17/2003)5
Guna memudahkan DPR dalam memahami dan mendiskusikan kerangka
ekononomi makro, pemerintah mengirimkan laporan triwulanan update fiskal dan
makroekonomi serta outlook dan estimasi ke depan kepada DPR pada awal
April. Laporan ini disiapkan oleh Badan Analisa Fiskal (BAF), Departemen
Keuangan. Dengan laporan ini, diharapkan DPR memahami gambaran umum
perkembangan fiskal dan makroekonomi terkini beserta outlook dan estimasi ke
depannya. Laporan ini menyajikan tampilan fiskal dan makroekonomi dua tahun
terakhir, estimasi kinerja fiskal tahun anggaran berjalan, serta proyeksi kinerja
fiskal tiga tahun ke depan. Variabel-variabel fiskal dan makroekonomi yang
disajikan dalam laporan tersebut meliputi pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi,
nilai tukar rupiah, tingkat bunga, harga minyak internasional, neraca
pembayaran, penerimaan, pengeluaran, surplus primer, defisit anggaran,
pembiayaan, dan estimasi ke depan.
Kerangka ekonomi makro yang disampaikan kepada DPR berisi antara lain
prospek ekonomi dunia (pertumbuhan, perdagangan, dll.), kebijakan ekonomi
makro (kebijakan fiskal, kebijakan moneter, kebijakan investasi, neraca
pembayaran), serta asumsi dasar APBN (pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai
tukar, harga minyak , produksi minyak, dan tingkat suku bunga SBI rata-rata).
Sementara itu, pokok-pokok kebijakan fiskal yang disampaikan kepada
DPR mencakup kaidah utama yang melatari kebijakan fiskal, kebijakan fiskal
5 Sebelum UU No. 17/2003, pemerintah tidak menyampaikan “Pokok-pokok kebijakan fiskal” dalam
dokumen yang spesifik. Pemerintah hanya menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan anggaran
dalam Nota Keuangan dan RAPBN yang disampaikan kepada DPR tanggal 16 Agustus. Meskipun
demikian, isinya berbeda dengan apa yang dimaksudkan dalam UU No. 17/2003 tersebut.
32
bidang pendapatan negara dan hibah, kebijakan fiskal bidang belanja negara,
dan kebijakan fiskal pembiayaan anggaran.
Pemerintah dan DPR membahas kerangka ekonomi makro dan pokokpokok
kebijakan fiskal yang diajukan oleh pemerintah dalam pembicaraan
pendahuluan RAPBN tahun anggaran berikutnya. Berdasarkan kerangka
ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tersebut, pemerintah dan DPR
membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi
setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran. (Pasal
13 ayat (2) – (3) UU No. 17/2003).
Dalam rangka penyusunan RAPBN, berdasarkan Surat Edaran yang
diterbitkan oleh Menteri Keuangan c.q. DJA, menteri/pimpinan lembaga selaku
pengguna anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran
kementerian negara/lembaga tahun berikutnya. Rencana kerja dan anggaran
tersebut disusun berdasarkan prestasi kerja (kinerja) yang akan dicapai; dan
disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran
yang sedang disusun. Selanjutnya, rencana kerja dan anggaran tersebut
disampaikan kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan
RAPBN. Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada
Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan RUU tentang APBN tahun
berikutnya. (Pasal 14 UU No. 17/2003).6
Pada awal bulan Juli pemerintah menyampaikan laporan semester pertama
perkembangan fiskal dan makroekonomi serta outlook kepada DPR. Laporan ini
merupakan update atas laporan triwulan yang telah disampaikan kepada DPR
pada awal bulan April.
Pengajuan, pembahasan dan penetapan APBN. Tahapan ini dimulai
dengan pengajuan RUU tentang APBN disertai nota keuangan dan dokumendokumen
pendukungnya oleh pemerintah kepada DPR pada bulan Agustus
tahun sebelumnya. (Pasal 15 ayat (1) UU No. 17/2003) Selama pembahasan,
dokumen-dokumen pendukung disampaikan kepada DPR. Sebagaimana diatur
6 Saat ini pemerintah sedang menyiapkan RPP tentang Rencana Kerja dan Anggaran Instansi Pemerintah.
33
dalam Pasal 15 ayat (4) UU No. 17/2003, pengambilan keputusan oleh DPR
mengenai RUU tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya dua bulan sebelum
tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. Batasan ini diperlukan agar
pemerintah punya cukup waktu untuk menyiapkan seluruh dokumen
pelaksanaan anggaran. Di samping itu, waktu dua bulan itu juga diperlukan oleh
Pemerintah Daerah untuk menyiapkan anggaran mereka, mengingat salah satu
sumber keuangan utama Pemerintah daerah adalah dana perimbangan yang
diperoleh dari APBN.
APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi,
fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. (Pasal 15 ayat (5) UU No. 17/2003).
Apabila DPR tidak menyetujui RUU APBN yang diajukan pemerintah,
pemerintah dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka
APBN tahun anggaran sebelumnya. (Pasal 15 ayat (6) UU No. 17/2003)
VIII.2.2. Pelaksanaan APBN
Setelah APBN ditetapkan, Menteri Keuangan memberitahukan kepada
semua menteri/pimpinan lembaga agar menyampaikan dokumen pelaksanaan
anggaran untuk masing-masing kementerian/lembaga. Selanjutnya
menteri/pimpinan lembaga menyusun dokumen pelaksanaan anggaran untuk
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya berdasarkan alokasi anggaran
yang ditetapkan oleh Presiden. Di dalam dokumen pelaksanaan anggaran,
diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan,
anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana
penarikan dana tiap-tiap satuan kerja, serta pendapatan yang diperkirakan.
Pada dokumen pelaksanaan anggaran tersebut juga dilampirkan rencana kerja
dan anggaran badan layanan umum dalam lingkungan kementerian negara yang
bersangkutan. Setelah dokumen pelaksanaan anggaran tersebut disahkan oleh
Menteri Keuangan, dokumen tersebut kemudian disampaikan kepada
menteri/pimpinan lembaga, kuasa bendahara umum negara, dan BPK. (Pasal 14
ayat (1) – (5) UU No. 17/2003)
34
Berdasarkan dokumen pelaksanaan anggaran, kementerian/lembaga
sebagai pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran melaksanakan kegiatan
sebagaimana tersebut dalam dokumen pelaksanaan anggaran. Untuk keperluan
kegiatan tersebut, pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran berwenang
mengadakan ikatan/perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang
telah ditetapkan. (Pasal 17 ayat (1) – (2) UU No. 1/2004) Selanjutnya, pengguna
anggaran/kuasa pengguna anggaran berhak untuk menguji, membebankan pada
mata anggaran yang telah disediakan, dan memerintahkan pembayaran tagihantagihan
atas beban APBN. (Pasal 18 ayat (1) UU No. 1/2004) Pembayaran atas
tagihan yang menjadi beban APBN dilakukan oleh Bendahara Umum
Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara. (Pasal 19 ayat (1) UU No. 1/2004)
Pemerintah menyusun laporan realisasi semester pertama APBN dan
prognosis untuk enam bulan berikutnya, yang disampaikan kepada DPR
selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk
dibahas bersama antara DPR dan pemerintah. (Pasal 27 ayat (1) – (2) UU No.
17/2003)
Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan
dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan
prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila
terjadi:
a. perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang
digunakan dalam APBN;
b. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
c. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar
unit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja;
d. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus
digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan. (Pasal 27 ayat (3)
UU No. 17/2003)
35
Dalam keadaan darurat pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang
belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan
perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
Pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang Perubahan APBN
tahun anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan tersebut untuk
mendapatkan persetujuan DPR sebelum tahun anggaran yang bersangkutan
berakhir. (Pasal 27 ayat (4) – (5) UU No. 17/2003)
VIII.2.3. Pengawasan dan Pertanggungjawaban APBN
Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan
pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat
waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah
diterima secara umum.
Dalam UU No. 17/2003 ditetapkan bahwa laporan pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN disampaikan berupa laporan keuangan yang setidaktidaknya
terdiri dari Iaporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan
catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi
pemerintah. Laporan keuangan pemerintah yang telah diperiksa oleh Badan
Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya 6
(enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara
menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang
bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undangundang
tentang APBN dari segi manfaat/hasil (outcome). Sedangkan Pimpinan
unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas
pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN
dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan (output). Sebagai
konsekuensinya, dalam UU No. 17/2003 diatur sanksi yang berlaku bagi
menteri/pimpinan lembaga, serta Pimpinan unit organisasi kementerian
36
negara/lembaga yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan
yang telah ditetapkan dalam UU tentang APBN. Ketentuan sanksi tersebut
dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai
jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN yang bersangkutan.
Selain itu perlu ditegaskan pula prinsip yang berlaku universal bahwa
barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan
membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara
bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam
pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh
para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian
intern yang andal.
IX. Optimalisasi Peranan DPR7
Peranan DPR dalam penganggaran dapat dijalankan berdasarkan fungsifungsi
yang dimilikinya. Berdasarkan Pasal 20A UUD 1945 Perubahan Pertama,
DPR mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan.
Fungsi Legislasi. Dalam menjalankan fungsi legislasinya, DPR
menetapkan dan menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Pemerintah. Proses
penetapan itu sendiri diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR RI. Sebelum
menetapkan dan menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Pemerintah, DPR
terlibat secara intens dalam keseluruhan proses penyusunan dan penetapan
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
Fungsi Anggaran. Berkenaan dengan fungsi anggaran, DPR mempunyai
hak budget sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 Perubahan
Ketiga yang menyebutkan bahwa RUU APBN diajukan oleh Presiden untuk
dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. DPR sesuai
7 Bagian ini banyak merujuk pada: Abdullah Zainie, “Peranan DPR dalam Reformasi Pengelolaan
Anggaran Negara”, Jurnal Forum Inovasi Vol. 5: Desember-Februari 2003, pp. 20-25, 77-80.
37
dengan hak budgetnya dapat menyetujui ataupun tidak menyetujui RUU APBN
yang diajukan oleh Pemerintah dan mengadakan pembahasan. Pembahasan
RUU APBN secara bersama oleh DPR dan Presiden selain dalam rangka
melaksanakan fungsi legislasi juga dimaksudkan agar DPR dapat mengetahui
dan mengidentifikasi dengan jelas bahwa terhadap alokasi yang dicantumkan
dalam RAPBN tersebut tidak terjadi penyelewengan. Selain itu, DPR juga
mempunyai hak untuk mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah
penerimaan dan pengeluaran dalam RUU APBN.
Dalam konteks optimalisasi peranan DPR dalam penganggaran,
khususnya pada tahap penyusunan dan penetapan APBN, Abdullah Zainie
(2003) menggarisbawahi beberapa hal, diantaranya:
1. DPR harus mempunyai waktu khusus untuk membahas proses anggaran
dengan mengkaji secara teliti sehingga proses tersebut dapat berjalan
lancar;
2. DPR harus menguasai keseluruhan struktur dan proses anggaran sehingga
bisa memberikan peran yang maksimal terhadap proses anggaran;
3. DPR dengan didukung oleh Undang-undang seharusnya mampu
memberikan kontribusi lebih besar; bukan hanya sekedar menerima atau
menolak RUU APBN. DPR seharusnya dapat mendiskusikan anggaran
sebagai sebuah instrumen kebijakan dan untuk menjamin bahwa anggaran
tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam konstitusi.
DPR juga harus bisa mengkaji dan menganalisis anggaran secara terperinci
berdasarkan fungsi-fungsi yang ada;
4. Anggaran seharusnya digunakan oleh Pemerintah dan DPR untuk bertindak
sebagai mitra yang berkepentingan dalam pencapaian tujuan yang sama;
5. Kepentingan tertinggi partai harus didahulukan di atas kepentingan partai
Fungsi Pengawasan. Pengawasan yang dilakukan oleh DPR terdiri dari
dua hal, yaitu:
1. Pengawasan terhadap Pemerintah dalam melaksanakan Undang-undang;
2. Pengawasan terhadap Pemerintah dalam melaksanakan APBN.
38
Pengawasan DPR terhadap Pemerintah dalam melaksanakan APBN dapat
dilakukan melalui dua hal, yaitu:
1. Melalui rapat-rapat kerja yang dilakukan oleh komisi-komisi DPR dengan
departemen-departemen pemerintahan. Dalam rapat kerja tersebut, DPR
dapat mengadakan pembahasan mengenai berbagai hal dengan
Pemerintah. Selain itu, DPR juga membahas hasil dengar pendapat komisikomisi
dengan masyarakat, NGO, akademisi. Fungsi pengawasan dan
fungsi penganggaran akan beririsan ketika DPR melakukan pembahasan
dengan Pemerintah untuk menyetujui RUU APBN atau PAN yang diajukan
oleh Pemerintah.
2. Menerima dan membahas laporan dari BPK.
Berdasarkan Pasal 23E UUD 1945 Perubahan Ketiga, ditetapkan bahwa
hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, DPRD,
sesuai dengan kewenangannya. Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh
BPK akan digunakan oleh DPR untuk mengevaluasi pertanggungjawaban
Pemerintah dalam pelaksanaan APBN. Menurut Pasal 145 Peraturan Tata
Tertib DPR, DPR membahas hasil pemeriksaan tersebut yang
diberitahukan oleh BPK dalam bentuk Hasil Pemeriksaan Semester, yang
kemudian disampaikan dalam rapat paripurna DPR untuk dipergunakan
sebagai bahan pengawasan. Hasil pemeriksaan juga membantu DPR
dalam rangka memberikan persetujuan atas PAN yang diajukan oleh
Pemerintah.
X. Penutup
Reformasi manajemen keuangan pemerintah—yang telah menenorkan UU
No. 17/2003 dan UU No. 1/2004 beserta peraturan-peraturan pendukungnya)—
telah memberikan landasan yang cukup kuat untuk memperbaiki kinerja
pengelolaan keuangan negara RI. Kedua Undang-undang tersebut—dan
diharapkan dilengkapi dengan UU Pemeriksaan pengelolaan Keuangan Negara
39
yang masih dibahas di DPR—menyediakan instrument dan wahana yang
kondusif untuk mewujudkan good governance.
Keindahan aturan, tentunya tidak akan berguna manakala tidak
diimplementasikan sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, Pemerintah dan
DPR diharapkan mampu mengawal pelaksanaan paket undang-undang di
bidang keuangan negara tersebut sekaligus melanjutkan proses reformasi
manajemen keuangan pemerintah.
DPR dengan fungsi-fungsi yang dimilikinya, yakni fungsi legislasi, fungsi
anggaran, dan fungsi pengawasan, dapat berperan optimal dalam memperbaiki
kinerja anggaran negara dengan keterlibatannya yang efektif sepanjang siklus
APBN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar